Aku terhenti pada jalan setapak yang aku serta kamu lalui bersama pada malam itu. Malam minggu dimana banyak pasangan-pasangan lainnya bermesraan. Namun kita justru membicarakan tentang spektrum warna kita masing-masing.
Kamu bilang padaku bahwa aku kuning bahkan sedikit kerlipan seperti emas dan silver. Indah. Katamu begitu.
Cantik. Tambahmu. Aku... Aku... Tidak suka keduanya bila diucapkan olehmu. Terdengar muskil.
Lalu kamu meminta izin mengenggam tanganku. Biar kerlipan itu menular padamu. Melalui senyumku dan tatapanku. Kamu mulai pudar, hitam kini bukan warna yang kamu agungkan seperti sebelumnya. Kamu ingin berwarna sepertiku. Terang dengan kerlipan yang katamu indah.
Kamu meminta agar aku selalu bahagia dan tersenyum agar spektrum warna yang beragam kalah dengan kerlipan yang ku miliki. Bahkan aku tidak memiliki hitam maupun kelabu. Meskipun tangan kita bertaut.
Bukankah luar biasa memiliki warna yang kita agungkan? Bukankah warna mencerminkan siapa kita? Aku ragu kamu mengerti, karena sejak lama kamu memilih gelap. Aku tidak tahu artinya, gelap. Hitam? Atau ketika mataku tak bisa melihat apapun? Atau ketika langit ingin menangis? Bahkan awan yang membendung hujan masih tersisip warna putih dan biru diantaranya.
Aku mengizinkanmu memelukku. Bahkan dengan erat. Rasakan warnaku. Kerlipan yang kamu inginkan. Semoga kamu menjadi cerah seperti keindahan yang kamu katakan.