KILAS BALIK
Cerpen by: Pia
Setiap
waktu kita berbincang, yang lebih banyak di kamar ini dan pantry. Tempat dimana udara bersih lebih banyak ketimbang asap
rokok yang mengudara sehingga aku bisa bernapas bebas ketika berbicara
denganmu. Tak pernah seharipun sepanjang hariku sejak bertemu dirimu untuk
tidak membicarakan bahaya rokok yang akan menjadi hal negatif dikemudian hari.
Seperti hari itu ketika kamu tersungkur seperti sekarat. Namun sekalipun tak pernah
kamu memedulikan kalimat-kalimat yang aku katakan. Kamu selalu berkata bahwa
aku tidak pernah mengerti. Betapa rokok memiliki esensi yang tak dapat
dilukiskan oleh kalimat-kalimat bukan lagi kata-kata. Ide-ide brilianmu muncul
melalui imajinasi liar yang datang untuk mendorong jemari-jemari itu menari dan
melahirkan karya-karya indah yang kamu buat. Asap rokok seolah
memvisualisasikan ide baru dan nikotin menyadarkanmu untuk berangkat menuju
imajinasi terdalam dirimu.
Kembali
di waktu saat itu. Perjanjian kali terakhir itu membuatmu terlihat sedang
bermesraan dengan rokok ditengah malam kota yang ramai meskipun terasa dingin.
Aku tidak mengganggumu yang tenggelam dalam dunia yang tak pernah ku mengerti.
Jika kamu berkata tak akan merasa menyesal, aku justru tak begitu. Aku
menyesal, seharusnya aku lebih keras dan membuang semua rokok-rokok itu. Namun
kalimat penutup malam itu adalah ucapan terimakasih darimu karena rasa cintaku
yang besar. Aku sadar aku mencintaimu dengan tulus. Meski aku sadar hal itu tidak
menjadi pembenaran dalam kisah kami. Aku terlelap malam itu seperti biasanya
lebih awal lalu dirinya.
Seminggu
berlalu. Kami membicarakan soal pengobatan yang bisa kamu tempuh untuk
mengobati kanker yang sudah menjalar dihatimu. Kamu meminta aku untuk
mengikhlaskan bahwa kamu tidak akan mengambil pengobatan apapun. Yang kamu
minta saat itu hanyalah hari-hari membahagiakan bersamaku di hari-hari yang
akan menjadi akhir bagi dirinya. Kemudian kamu akan melukis satu lukisan setiap
harinya dan ingin dikenal sebagai pelukis ekspresionisme ketimbang mati konyol
akibat rokok kecintaannya itu. Mulai hari itu kamu memutuskan untuk tetap
nampak merokok. Rokok-rokok yang nantinya akan menjadi pajangan disudut bibirmu
tanpa menyala. Setidaknya manisnya nikotin masih dapat terkecap dilidah.
Setiap
hari, saat batuk dan darah memercik di jemarimu sudah menjadi pemandangan yang
biasa buatku. Setiap malam sekalian menungguku terlelap tidur, membiarkanku
memandangi tubuhmu disudut jendela mengamati suasana kota yang terkadang
diguyur hujan. Masih dengan rokok di tanganmu yang terkadang seolah kamu sedang
berakting menghisap rokok yang sedikit demi sedikit habis terbakar menerbangkan
abu keluar jendela. Malam itu kamu sekali menoleh ke arahku. Masih dengan
tatapan yang tak bisa ku mengerti. Kamu berjalan menghampiriku. Menarik
tanganku dan memintaku untuk beranjak dari tempat tidur. Lalu mendekatkan
tubuhku dengan tubuhmu. Aroma khas asli dirimu tercium yang tak terbalut oleh
bau asap rokok seperti tiga bulan sebelumnya. Kemudian tanganmu membawa tangan
kananku diantara tanganmu, lalu tangan kiriku kamu taruh diatas tengkukmu. Kamu
mengajakku berdansa. Perlahan. Kamu memjamkan mata, air mata menetes tepat di
pipiku yang berada dibawah wajahmu. Malam terakhir yang indah.
Bagiku
hanya ragamu yang pergi, aku yakin kamu masih disana, karena jiwamu seolah
datang malam ini. Masih disudut tempat favoritmu di kamar ini dengan suara
bising klakson kendaraan yang menjadi latarnya. Sebatang rokok itu masih terus
kamu hisap meski tak pernah dinyalakan, yang membuatmu seolah hidup. Perlahan
jiwamu menoleh kearahku yang terbaring di pinggir tempat tidur, lalu tersenyum.
Anehnya senyuman itu nampak bahagia saat ini. Lalu jiwa itu kembali berfokus
pada entah apa.
Aku
beranjak menuju laci tempat kamu biasa menaruh batang-batang rokok tak
berwadah. Yang terbiarkan agar menjadi tak menarik lagi bagimu untuk dinyalakan
karena terisi udara yang membuat tiap-tiap lintingannya menjadi entah kering
atau lembab, yang aku tahu pasti menurutmu rokok itu sudah tidak enak untuk
dibakar lalu dihisap. Aku ambil sebatang rokok yang ia sisakan, mungkin
sengaja, sebagai kenang-kenangan untukku ketika dia pergi. Kemudian aku
nyalakan sekali dua kali korek yang terakhir kali kamu pakai. Memunculkan
cahaya temaram yang bersanding diantara cahaya rembulan malam ini. Perlahan
kuhisap rokok itu. Aku tidak pernah tahu jika rasanya tidak seenak itu. Aku
pikir benar katamu, rokok-rokok itu menjadi tidak enak untuk dihisap. Meskipun
aku tidak tahu apakah rokok baru terasa lebih enak untuk dihisap atau tidak.
Aku
melihat jiwamu memperhatikanku. Aku mendekat disudut jendela disampingnmu.
Perlahan seolah kamu berucap, “Awas nanti suka.” Suka merokok maksudmu.
Aku
tertawa kecil kemudian menjawab, “Aku? Suka rokok? Hahaha!” kemudian kamu mengangguk
sambil tersenyum.
Aku
terus memperhatikan wajah itu. Wajah yang ku rindukan. Wajah yang selalu ku
ingin lihat saat terbangun dari tidur. Tubuh yang sangat ingin ku peluk. Aku menunggu
kamu menoleh kembali padaku dan tersenyum. Tak lama kamu kembali berucap,
“kamu
pasti tahu aku tidak menyesal karena merokok, karena setiap hisapan demi
hisapan membuatku lebih hidup. Membantuku melihat dunia dari sisi imajinasi
liarku. Mungkin kamu tidak mengerti, tapi kamu adalah obatku yang sesungguhnya.
Kamu yang sesungguhnya membuatku tetap hidup dalam motivasiku sebagai pelukis.
Kamu sebuah mimpi dan akan selalu menjadi begitu. Terimakasih telah menerima
kesukaanku untuk membencinya.”
Tak
terasa sebatang rokok ditanganku telah terbakar hingga menyisakan abu yang
berserakan di jendela. Perlahan aku tiup abu-abu tersebut dan jiwa itu pun ikut
menghilang terbang bersama setiap keping abu rokok yang habis tak ku hisap.
Don’t Smoke, You’ll
Cut Your Life