Cerpen : Kilas Balik #2 END

         KILAS BALIK

Cerpen by: Pia


Setiap waktu kita berbincang, yang lebih banyak di kamar ini dan pantry. Tempat dimana udara bersih lebih banyak ketimbang asap rokok yang mengudara sehingga aku bisa bernapas bebas ketika berbicara denganmu. Tak pernah seharipun sepanjang hariku sejak bertemu dirimu untuk tidak membicarakan bahaya rokok yang akan menjadi hal negatif dikemudian hari. Seperti hari itu ketika kamu tersungkur seperti sekarat. Namun sekalipun tak pernah kamu memedulikan kalimat-kalimat yang aku katakan. Kamu selalu berkata bahwa aku tidak pernah mengerti. Betapa rokok memiliki esensi yang tak dapat dilukiskan oleh kalimat-kalimat bukan lagi kata-kata. Ide-ide brilianmu muncul melalui imajinasi liar yang datang untuk mendorong jemari-jemari itu menari dan melahirkan karya-karya indah yang kamu buat. Asap rokok seolah memvisualisasikan ide baru dan nikotin menyadarkanmu untuk berangkat menuju imajinasi terdalam dirimu.

Kembali di waktu saat itu. Perjanjian kali terakhir itu membuatmu terlihat sedang bermesraan dengan rokok ditengah malam kota yang ramai meskipun terasa dingin. Aku tidak mengganggumu yang tenggelam dalam dunia yang tak pernah ku mengerti. Jika kamu berkata tak akan merasa menyesal, aku justru tak begitu. Aku menyesal, seharusnya aku lebih keras dan membuang semua rokok-rokok itu. Namun kalimat penutup malam itu adalah ucapan terimakasih darimu karena rasa cintaku yang besar. Aku sadar aku mencintaimu dengan tulus. Meski aku sadar hal itu tidak menjadi pembenaran dalam kisah kami. Aku terlelap malam itu seperti biasanya lebih awal lalu dirinya.

Seminggu berlalu. Kami membicarakan soal pengobatan yang bisa kamu tempuh untuk mengobati kanker yang sudah menjalar dihatimu. Kamu meminta aku untuk mengikhlaskan bahwa kamu tidak akan mengambil pengobatan apapun. Yang kamu minta saat itu hanyalah hari-hari membahagiakan bersamaku di hari-hari yang akan menjadi akhir bagi dirinya. Kemudian kamu akan melukis satu lukisan setiap harinya dan ingin dikenal sebagai pelukis ekspresionisme ketimbang mati konyol akibat rokok kecintaannya itu. Mulai hari itu kamu memutuskan untuk tetap nampak merokok. Rokok-rokok yang nantinya akan menjadi pajangan disudut bibirmu tanpa menyala. Setidaknya manisnya nikotin masih dapat terkecap dilidah.

Setiap hari, saat batuk dan darah memercik di jemarimu sudah menjadi pemandangan yang biasa buatku. Setiap malam sekalian menungguku terlelap tidur, membiarkanku memandangi tubuhmu disudut jendela mengamati suasana kota yang terkadang diguyur hujan. Masih dengan rokok di tanganmu yang terkadang seolah kamu sedang berakting menghisap rokok yang sedikit demi sedikit habis terbakar menerbangkan abu keluar jendela. Malam itu kamu sekali menoleh ke arahku. Masih dengan tatapan yang tak bisa ku mengerti. Kamu berjalan menghampiriku. Menarik tanganku dan memintaku untuk beranjak dari tempat tidur. Lalu mendekatkan tubuhku dengan tubuhmu. Aroma khas asli dirimu tercium yang tak terbalut oleh bau asap rokok seperti tiga bulan sebelumnya. Kemudian tanganmu membawa tangan kananku diantara tanganmu, lalu tangan kiriku kamu taruh diatas tengkukmu. Kamu mengajakku berdansa. Perlahan. Kamu memjamkan mata, air mata menetes tepat di pipiku yang berada dibawah wajahmu. Malam terakhir yang indah.

Bagiku hanya ragamu yang pergi, aku yakin kamu masih disana, karena jiwamu seolah datang malam ini. Masih disudut tempat favoritmu di kamar ini dengan suara bising klakson kendaraan yang menjadi latarnya. Sebatang rokok itu masih terus kamu hisap meski tak pernah dinyalakan, yang membuatmu seolah hidup. Perlahan jiwamu menoleh kearahku yang terbaring di pinggir tempat tidur, lalu tersenyum. Anehnya senyuman itu nampak bahagia saat ini. Lalu jiwa itu kembali berfokus pada entah apa.

Aku beranjak menuju laci tempat kamu biasa menaruh batang-batang rokok tak berwadah. Yang terbiarkan agar menjadi tak menarik lagi bagimu untuk dinyalakan karena terisi udara yang membuat tiap-tiap lintingannya menjadi entah kering atau lembab, yang aku tahu pasti menurutmu rokok itu sudah tidak enak untuk dibakar lalu dihisap. Aku ambil sebatang rokok yang ia sisakan, mungkin sengaja, sebagai kenang-kenangan untukku ketika dia pergi. Kemudian aku nyalakan sekali dua kali korek yang terakhir kali kamu pakai. Memunculkan cahaya temaram yang bersanding diantara cahaya rembulan malam ini. Perlahan kuhisap rokok itu. Aku tidak pernah tahu jika rasanya tidak seenak itu. Aku pikir benar katamu, rokok-rokok itu menjadi tidak enak untuk dihisap. Meskipun aku tidak tahu apakah rokok baru terasa lebih enak untuk dihisap atau tidak.

Aku melihat jiwamu memperhatikanku. Aku mendekat disudut jendela disampingnmu. Perlahan seolah kamu berucap, “Awas nanti suka.” Suka merokok maksudmu.

Aku tertawa kecil kemudian menjawab, “Aku? Suka rokok? Hahaha!” kemudian kamu mengangguk sambil tersenyum.

Aku terus memperhatikan wajah itu. Wajah yang ku rindukan. Wajah yang selalu ku ingin lihat saat terbangun dari tidur. Tubuh yang sangat ingin ku peluk. Aku menunggu kamu menoleh kembali padaku dan tersenyum. Tak lama kamu kembali berucap,

“kamu pasti tahu aku tidak menyesal karena merokok, karena setiap hisapan demi hisapan membuatku lebih hidup. Membantuku melihat dunia dari sisi imajinasi liarku. Mungkin kamu tidak mengerti, tapi kamu adalah obatku yang sesungguhnya. Kamu yang sesungguhnya membuatku tetap hidup dalam motivasiku sebagai pelukis. Kamu sebuah mimpi dan akan selalu menjadi begitu. Terimakasih telah menerima kesukaanku untuk membencinya.”

Tak terasa sebatang rokok ditanganku telah terbakar hingga menyisakan abu yang berserakan di jendela. Perlahan aku tiup abu-abu tersebut dan jiwa itu pun ikut menghilang terbang bersama setiap keping abu rokok yang habis tak ku hisap.

 

 

Don’t Smoke, You’ll Cut Your Life


Tidak ada komentar: