Cerpen : Kilas Balik #1

 

KILAS BALIK

Cerpen by: Pia



Sudah seminggu aku berdiri di sisi jendela biasa kamu berdiri disana. Kilas balik selalu terasa setiap bulan menampakan dirinya, ditemani balutan angin malam yang menghempas balik korden berwarna kelabu di sisi-sisinya. Bahkan aroma asap rokok yang begitu sering ku hirup masih dapat ku rasakan sampai hari ini. Meski yang menghisap rokok itu tak lagi di sini. Kilas balik itu membuat dirimu tampak hadir. Tanpa balutan seutas baju di badanmu yang putih dan kurus. Rambut panjangmu yang tak teratur tersibak angin malam beriringan dengan korden disampingmu. Hari ini kamu tampak lebih bersih tanpa percikan-percikan cat lukis yang mengering di jemari tanganmu yang jenjang berisi urat-urat yang menonjol keluar. Kamu tersenyum ke arahku yang lelah sepulang kerja. Rokok yang terselip di mulutmu sengaja tidak dinyalakan seperti sebulan terakhir ini. Hanya agar tetap terlihat keren katamu, imajinasimu terasa liar ketika asap rokok membelai wajahmu perlahan, kemudian tanganmu mampu menari-nari diatas kanvas dengan penuh gairah.

Tiga bulan lalu yang tampak berjalan seperti biasanya. Setiap hari berjalan dengan sangat baik. Seperti hari-hari biasanya. Aku bekerja sebagai jurnalis sebuah majalah digital yang sebenarnya tak memerlukan kehadiranku setiap saat, sehingga aku lebih sering berada dirumah sambil menunggu lukisan terbarumu rampung. Namun hari itu aku harus pergi ke kantor untuk memberikan laporan tertulis hasil tulisanku yang sudah ku upload pada website.

“Hari ini kamu tampak luar biasa.” Katamu sekalian mengecup lembut rambutku. Kamu terbangun lebih awal hari itu. Bersandar di pinggir pintu, sambil memainkan rambutmu yang seakan mengerti aku sangat menyukaimu ketika kamu terlihat berantakan.

“Thanks!” kataku sambil mencabut coat warm brown yang ku taruh di balik pintu. Udara hari ini terasa lebih dingin dari biasanya. Kota menjadi lebih gelap semenjak memasuki musim hujan. Kamu mengantarku sampai depan pintu.

“Stay safe, dream!” katamu yang selalu menganggapku sebagai mimpi yang tak pernah bisa kamu gapai.

Dengan senyum setulus hati lalu ku ucapkan pesan yang selalu ku ucapkan padanya, “don’t smoke too much! You know i hate smokers, don’t you?! Bye!”

Aku tidak pernah mengira petir menyambar sore itu. Dalam rumah yang ku penuhi cinta. Aku pulang seperti biasanya pada pukul lima sore. Suara batuk yang begitu keras menyambutku saat membuka pintu. Berlari kecil aku membawa diriku menuju kamar mencari sumber suara yang tentu saja berasal dari dirimu. Kamu meringkuk tersungkur di bawah sisi jendela biasa kamu menghabiskan waktu untuk merokok di kamar. Saat itu kamu terlihat seperti orang sekarat. Air mata bercucuran melihat percikan darah yang kali ini menempel di jemarimu. Aku takut sekali, benar-benar takut. Hari ini yang akhirnya membuatmu terpaksa untuk berhenti merokok. Kamu divonis oleh dokter terkena kanker hati stadium IV. Seperti runtuh duniaku. Seolah kami akan terpisahkan dalam waktu dekat. Namun aku tetap bersikap menerima dan ikhlas. Aku meyakini apa yang aku yakini. Kamu pasti akan bertahan lebih lama dari yang seharusnya.

Tiga hari sudah berada di rumah sakit. Membuat dirimu rindu dengan ruang kerjamu. Kami memilih untuk memikirkan cara terbaik untuk melakukan penyembuhan, namun berjanji akan membahasnya setelah seminggu kemudian.

“Kamu tahu tidak? Aku tidak pernah menyesal menjadi seorang perokok.” Katamu yang berdiri di tempat favoritmu. Suara bising kendaraan yang lalu lalang sedikit meredam suaramu. Malam kali itu lebih berawan dan berangin, sehingga bulan tak menampakkan dirinya. Kali ini dia menatap diriku dengan tatapan yang tak ku mengerti. Tak tersenyum, tak sedih dan bukanlah tatapan yang menyimpan amarah serta penyesalan. Aku hanya menggeleng pelan di pinggir tempat tidur kita.

“Kamu selalu membenci rokok ini, tapi tidak pernah sekalipun kamu membenciku.” Katanya lagi. Malam ini perjanjian kami yang terakhir tentang rokok. Kamu meminta aku untuk mengizinkanmu sekali lagi dan untuk yang terakhir menghisap rokok dalam keadaan menyala. Untuk mengenang dan merasakan manisnya nikotin dalam balutan kapas di setiap batang yang selalu menjadi penenang bagimu.

“Terimakasih karena rasa cintamu melebihi rasa bencimu terhadap rokok yang ku hisap. Aku mau berfokus untuk kali terakhir dalam hidupku. Jika aku menghilang dari dunia esok hari, maka aku tidak akan menyesal sekalipun.”

Aku jadi kembali teringat masa-masa awal pernikahan kita. Setahun yang lalu. Aku memintamu untuk memilih antara diriku dan rokok yang ada disaku jeans jacket mu. Saat itu kami mendatangi rumah orangtuamu. Aku ingin mereka tidak mengkhawatirkan kesukaanmu yang dapat merusak hidupmu. Lalu kamu menjawab bahwa kamu lebih memilih rokok-rokok itu. Aku merasa dendam pada sebuah benda mati yang dihidupkan oleh manusia yang paling aku cintai. Bagiku dendam adalah kata yang pantas, karena kamu lebih memilih berpisah denganku ketimbang harus berpisah dengan batang-batang rokok itu.

to be continued..

 

 

Tidak ada komentar: