You’re Not Really My Best Friend #6

Ditulis oleh: firasyr

Setelah hari itu, hari dimana ketiga temanku menjelaskan semuanya kepadaku, aku jadi sedikit kikuk terhadap Virgo. Aku pikir selama ini Virgo hanya menyayangiku seperti ke temannya sendiri. Virgo tidak pernah membahas perempuan manapun karena memang ia tidak dekat dan suka dengan perempuan manapun. Aku pikir fokusnya hanya pada basket bukan berporos padaku. Seminggu ini aku meminta bertukar duduk bersama Gara yang duduk dengan Risti. Alasanku

“seminggu aja kan?” tanya Virgo.

“nggak tau, mungkin lebih.” Kataku.

Aku juga bilang sama dia untuk jangan menjemputku sekolah. Alasanku karena Papa memintaku untuk diantar olehnya setiap hari. Itu hanya kebohongan, aku harus datang 30 menitt sebelum kelas dimulai. Agar ia percaya dan aku datang lebih awal darinya. Setiap weekend Virgo bertanya apakah aku ada dirumah, aku selalu menjawab pergi ke suatu acara, entah itu pernikahan saudara, ulangtahu dan acara keluarga besar. Hampir sebulan berjalan seperti itu. Virgo mulai merasa aku berbeda kepadanya. Ia tahu aku tidak suka jika ada kehebohan dimana aku terlibat didalamnya. Saat pulang sekolah Virgo mendatangi rumahku.

“Virgo?” aku sedikit kaget dengan keberadaannya. Hari ini adalah hari ekskulnya.

“Jujur deh, lo ada masalah apa sama gue? Lo lagi ngehindarin gue sebulan ini?”

“engga, Vir!” kataku bohong.

“Terus lo kenapa?”

“Gue mau lo bebas dari gue dan bisa dekat dengan siapapun Vir.”

“Bebas? Dekat sama siapapun? Maksud lo gimana sih?”

“Ya gitu, lo boleh ko deket sama cewe yang lo suka, tanpa harus mikirin gue.”

“HAH? Tau dari mana itu yang gue mau?”

“lo nggak pernah cerita apapun ke gue. Soal Leoni, Indah atau Karmel. Lo nggak cerita apapun sama gue!” bentakku merasa dihianati sebagai sahabat.

“Lo mau tau rasanya kalo gue pacaran sama mereka? rasa yang sama yang gue rasain saat lo jadian sama Kenan!”

“Enggak,Vir. Tenang aja gue nggak akan merasa seperti itu. Lo bebas dekat siapapun, even pacaran pun, nggak pa-pa selama cewek itu bisa buat lo bahagia.”

“jadi itu yang lo mau?” aku terdiam, “oke gue lakuin.” Lalu Virgo keluar dan pergi.

Setelah hari itu, Virgo tidak pernah menghubungiku ataupun mengajakku berbicara. Begitupun aku, aku tidak berani menegurnya. Aku melihat dia ngobrol bersama Leoni. Mereka terlihat cocok. Sedikit terasa cemburu, aku kangen Virgo. Jalan bareng, main kerumahnya, bercanda. Aku kangen ngobrol dengannya. Sesekali aku lihat Virgo menoleh kearahku. Ntah memastikanku melihatnya atau hanya sekedar melihat.

Siang ini hujan sangat deras. Bisa dipastikan sampai pulang sekolah masih deras. Tiba-tiba suara gemuruh anak-anak dari kelas sebelah terdengar. Risti menghampiriku.

“Cher, Virgo, Cher!” teriaknya dari arah pintu. Aku berlari keluar mengikuti Risti.

“terima!! Terima!!!” Terlihat didalam lingkaran teman-temanku yang bersorai ada sesosok yang aku rindukan. Virgo menyatakan cintanya pada Arumi. Anak dari kelas sebelah. Hatiku rasanya sakit. Aku berlari menuruni anak tangga menuju ruang UKS untuk merebahkan diri. Jam terakhir aku izin tidak enak badan oleh guru matematika. Aku bingung harus apa, Virgo sudah memilih jalannya. Arumi pilihan hatinya. Saat kelas selesai aku kembali kekelas untuk mengambil barang-barangku. Kelas sudah setengah kosong. Aku terdiam duduk. Suara derai hujan terdengar begitu jelas. Aku masuk kedalamnya. Membayangkan kembali kejadian yang barusaja terjadi beberapa jam lalu. Virgo menyatakan perasaannya kepada Arumi. Aku menoleh ke arah mejanya tempat ia duduk, sudah kosong dan rapi. Hanya bersisa beberapa anak dikelas. Hujan masih cukup deras. Aku memutuskan untuk pulang, hatiku masih terasa sakit. Virgo bahkan tidak mencariku di UKS. Ia pasti sekarang pulang bersama pacar barunya itu. Melupakanku yang masih harus kehujanan sendiri. Virgo benar-benar melupakanku. Ternyata seperti ini rasanya ketika tidak dipedulikan lagi. Seperti ini yang Virgo rasakan ketika aku dan Kenan berpacaran. Sepertinya rasa sayangku bukan lagi kepada seorang teman atau sahabat. Saat itu juga aku merasa, perasaanku berbeda. Tanpa aku sadari aku memandang Virgo sebagai seorang laki-laki. Entah sejak kapan, perasaan itu tumbuh hingga aku menyadarinya sekarang.

Aku mulai berjalan memijaki bumi yang basah. Rintik-rintik besar terus turun seolah ingin mengisi seluruh tempat yang bisa ia isi di bumi. Aku menunduk berjalan pulang. Hingga tanpa aku sadari seseorang mengikutiku dari belakang. Aku menoleh.

“Virgo?” aku menangis menatapnya, yang berjarak satu meter dari tempatku berdiri.

“Lo lagi sakit tapi hujan-hujanan.” Katanya

“Elo bukannya udah pulang?” aku masih menangis pelan, bulir air mata lewat begitu saja tersapu air deras langit.

“iya, gue udah balik taruh motor terus naik ojek kesekolah.”

“Motor lo kenapa?” Virgo tidak menggubrisku yang masih menangis.

“Nggak pa-pa.”

“terus lo ngapain balik ke sekolah?”

“mau ngecek lo pulang nunggu reda atau hujan-hujanan.”

“Arumi?”

“elo.”

“Selamat ya Vir, semoga lo bahagia sama Arumi.” Anehnya aku menangis semakin kencang. Sesak sekali mengucapkan hal itu.

“basa-basi lo ya.”

“Arumi nanti cemburu liat lo masih begini ke gue, Vir!” kataku mendorong badannya untuk berbalik menuju sekolah.

“dia udah pulang, tadi dijemput sama orang rumahnya.”

“kalo dia tau gimana, Vir?”

“ya enggak pa-pa.” Katanya melepas jaket kulit yang ia pakai. Bajunya belum basah karena tertutup jaket kulitnya. Jaket itu itu taruh diatas kepalaku yang sudah basah.

“Lo ngapain sih?” kataku kesal. Aku masih menangis.

“Stthh, gue mau anter lo pulang.”

“nggak usah!” tolakku.

“stthhh, udah deh jalan aja buru.” Virgo merangkulkan lengannya ke pundakku. Kami berjalan ditengah hujan deras. Romantis tapi menyakitkan. Sakit karena tahu Virgo sudah milik oranglain. Aku menyesal tidak menyadari perasaanku lebih awal. Aku kesal karena Virgo tidak pernah tahu kalau aku menyimpan perasaan yang sama seperti dirinya.

“Cher..” panggilnya pelan saat sudah di depan rumahku. Aku melihat kearahnya. Aku yakin mataku pasti terlihat sembab, “Jaketnya lo cuci dulu ya, kalo udah kering balikin ke gue.”

“iya.” Kataku singkat lalu menunduk.

“Cher..” panggilnya lagi, lalu aku kembali menatapnya, “lo tau kan cara nyuci leather jacket?”

“gue bawa ke laundry, tenang aja.”

“yaudah gue balik ya. Minum vitamin biar lo nggak sakit.” Ia mengusap-usap rambutku seperti biasanya. Lalu berjalan pergi.

Bersambung....

Tidak ada komentar: