Setelah hari itu, hari dimana ketiga temanku
menjelaskan semuanya kepadaku, aku jadi sedikit kikuk terhadap Virgo. Aku pikir
selama ini Virgo hanya menyayangiku seperti ke temannya sendiri. Virgo tidak
pernah membahas perempuan manapun karena memang ia tidak dekat dan suka dengan
perempuan manapun. Aku pikir fokusnya hanya pada basket bukan berporos padaku.
Seminggu ini aku meminta bertukar duduk bersama Gara yang duduk dengan Risti.
Alasanku
“seminggu aja kan?” tanya Virgo.
“nggak tau, mungkin lebih.” Kataku.
Aku juga bilang sama dia untuk jangan menjemputku
sekolah. Alasanku karena Papa memintaku untuk diantar olehnya setiap hari. Itu
hanya kebohongan, aku harus datang 30 menitt sebelum kelas dimulai. Agar ia
percaya dan aku datang lebih awal darinya. Setiap weekend Virgo bertanya apakah
aku ada dirumah, aku selalu menjawab pergi ke suatu acara, entah itu pernikahan
saudara, ulangtahu dan acara keluarga besar. Hampir sebulan berjalan seperti
itu. Virgo mulai merasa aku berbeda kepadanya. Ia tahu aku tidak suka jika ada
kehebohan dimana aku terlibat didalamnya. Saat pulang sekolah Virgo mendatangi
rumahku.
“Virgo?” aku sedikit kaget dengan keberadaannya. Hari
ini adalah hari ekskulnya.
“Jujur deh, lo ada masalah apa sama gue? Lo lagi
ngehindarin gue sebulan ini?”
“engga, Vir!” kataku bohong.
“Terus lo kenapa?”
“Gue mau lo bebas dari gue dan bisa dekat dengan
siapapun Vir.”
“Bebas? Dekat sama siapapun? Maksud lo gimana sih?”
“Ya gitu, lo boleh ko deket sama cewe yang lo suka,
tanpa harus mikirin gue.”
“HAH? Tau dari mana itu yang gue mau?”
“lo nggak pernah cerita apapun ke gue. Soal Leoni,
Indah atau Karmel. Lo nggak cerita apapun sama gue!” bentakku merasa dihianati
sebagai sahabat.
“Lo mau tau rasanya kalo gue pacaran sama mereka?
rasa yang sama yang gue rasain saat lo jadian sama Kenan!”
“Enggak,Vir. Tenang aja gue nggak akan merasa seperti
itu. Lo bebas dekat siapapun, even pacaran pun, nggak pa-pa selama cewek itu
bisa buat lo bahagia.”
“jadi itu yang lo mau?” aku terdiam, “oke gue
lakuin.” Lalu Virgo keluar dan pergi.
Setelah hari itu, Virgo tidak pernah menghubungiku
ataupun mengajakku berbicara. Begitupun aku, aku tidak berani menegurnya. Aku
melihat dia ngobrol bersama Leoni. Mereka terlihat cocok. Sedikit terasa
cemburu, aku kangen Virgo. Jalan bareng, main kerumahnya, bercanda. Aku kangen
ngobrol dengannya. Sesekali aku lihat Virgo menoleh kearahku. Ntah memastikanku
melihatnya atau hanya sekedar melihat.
Siang ini hujan sangat deras. Bisa dipastikan sampai
pulang sekolah masih deras. Tiba-tiba suara gemuruh anak-anak dari kelas
sebelah terdengar. Risti menghampiriku.
“Cher, Virgo, Cher!” teriaknya dari arah pintu. Aku
berlari keluar mengikuti Risti.
“terima!! Terima!!!” Terlihat didalam lingkaran
teman-temanku yang bersorai ada sesosok yang aku rindukan. Virgo menyatakan
cintanya pada Arumi. Anak dari kelas sebelah. Hatiku rasanya sakit. Aku berlari
menuruni anak tangga menuju ruang UKS untuk merebahkan diri. Jam terakhir aku
izin tidak enak badan oleh guru matematika. Aku bingung harus apa, Virgo sudah
memilih jalannya. Arumi pilihan hatinya. Saat kelas selesai aku kembali kekelas
untuk mengambil barang-barangku. Kelas sudah setengah kosong. Aku terdiam
duduk. Suara derai hujan terdengar begitu jelas. Aku masuk kedalamnya.
Membayangkan kembali kejadian yang barusaja terjadi beberapa jam lalu. Virgo
menyatakan perasaannya kepada Arumi. Aku menoleh ke arah mejanya tempat ia
duduk, sudah kosong dan rapi. Hanya bersisa beberapa anak dikelas. Hujan masih
cukup deras. Aku memutuskan untuk pulang, hatiku masih terasa sakit. Virgo
bahkan tidak mencariku di UKS. Ia pasti sekarang pulang bersama pacar barunya
itu. Melupakanku yang masih harus kehujanan sendiri. Virgo benar-benar
melupakanku. Ternyata seperti ini rasanya ketika tidak dipedulikan lagi.
Seperti ini yang Virgo rasakan ketika aku dan Kenan berpacaran. Sepertinya rasa
sayangku bukan lagi kepada seorang teman atau sahabat. Saat itu juga aku
merasa, perasaanku berbeda. Tanpa aku sadari aku memandang Virgo sebagai
seorang laki-laki. Entah sejak kapan, perasaan itu tumbuh hingga aku
menyadarinya sekarang.
Aku mulai berjalan memijaki bumi yang basah.
Rintik-rintik besar terus turun seolah ingin mengisi seluruh tempat yang bisa
ia isi di bumi. Aku menunduk berjalan pulang. Hingga tanpa aku sadari seseorang
mengikutiku dari belakang. Aku menoleh.
“Virgo?” aku menangis menatapnya, yang berjarak satu
meter dari tempatku berdiri.
“Lo lagi sakit tapi hujan-hujanan.” Katanya
“Elo bukannya udah pulang?” aku masih menangis pelan,
bulir air mata lewat begitu saja tersapu air deras langit.
“iya, gue udah balik taruh motor terus naik ojek
kesekolah.”
“Motor lo kenapa?” Virgo tidak menggubrisku yang
masih menangis.
“Nggak pa-pa.”
“terus lo ngapain balik ke sekolah?”
“mau ngecek lo pulang nunggu reda atau hujan-hujanan.”
“Arumi?”
“elo.”
“Selamat ya Vir, semoga lo bahagia sama Arumi.”
Anehnya aku menangis semakin kencang. Sesak sekali mengucapkan hal itu.
“basa-basi lo ya.”
“Arumi nanti cemburu liat lo masih begini ke gue,
Vir!” kataku mendorong badannya untuk berbalik menuju sekolah.
“dia udah pulang, tadi dijemput sama orang rumahnya.”
“kalo dia tau gimana, Vir?”
“ya enggak pa-pa.” Katanya melepas jaket kulit yang
ia pakai. Bajunya belum basah karena tertutup jaket kulitnya. Jaket itu itu
taruh diatas kepalaku yang sudah basah.
“Lo ngapain sih?” kataku kesal. Aku masih menangis.
“Stthh, gue mau anter lo pulang.”
“nggak usah!” tolakku.
“stthhh, udah deh jalan aja buru.” Virgo merangkulkan
lengannya ke pundakku. Kami berjalan ditengah hujan deras. Romantis tapi
menyakitkan. Sakit karena tahu Virgo sudah milik oranglain. Aku menyesal tidak
menyadari perasaanku lebih awal. Aku kesal karena Virgo tidak pernah tahu kalau
aku menyimpan perasaan yang sama seperti dirinya.
“Cher..” panggilnya pelan saat sudah di depan
rumahku. Aku melihat kearahnya. Aku yakin mataku pasti terlihat sembab,
“Jaketnya lo cuci dulu ya, kalo udah kering balikin ke gue.”
“iya.” Kataku singkat lalu menunduk.
“Cher..” panggilnya lagi, lalu aku kembali
menatapnya, “lo tau kan cara nyuci leather jacket?”
“gue bawa ke laundry, tenang aja.”
“yaudah gue balik ya. Minum vitamin biar lo nggak
sakit.” Ia mengusap-usap rambutku seperti biasanya. Lalu berjalan pergi.
Bersambung....