IMPLEMENTASI HAM DALAM PEMBANGUNAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS


UAS HAM DAN PEMBANGUNAN
SAFIRA YASTIANDARI RAMADANI
4825141008
SOSIOLOGI PEMBANGUNAN

 FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

IMPLEMENTASI HAM DALAM PEMBANGUNAN BAGI PENYANDANG DISABILITAS

Pendahuluan
Penghormatan hak asasi manusia (HAM) dengan memberikan perlindungan serta pemajuannya merupakan hal yang terus  diupayakan oleh pemerintah. Dalam impelementasinya hak asasi manusia haruslah beriringan dengan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Hal tersebut menjadi penting dilakukan karena apabila pembangunan dilaksanaka tanpa memegang prinsip-prinsip hak asasi manusia maka yang akan terjadi adalah kesenjangan, kemiskinan, serta alienasi terhadap kaum yang terpinggirkan, dan secara keseluruhan dalam aspek kehidupan yang ada di masyarakat.
Seperti yang telah diketahui pada awal tahun 2000 telah terjadi kesepakatan di beberapa negara yang tergabung dalam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk melaksanakan Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs), dengan meningkatkan pembangunan berlandaskan prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagai cara peningkatan taraf hidup masyarakat dalam suatu negara dengan berfokus dalam segala aspek kehidupan masyarakat namun dalam proses pembangunannya tidak melahirkan ketimpangan serta kesenjangan yang lebih parah dari keadaan sebelumnya. Berakhirnya MDGs di tahun 2015 silam, agaknya tujuan-tujuan tersebut belum mampu tercapai secara maksimal. Maka dari itu dibuatlah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang tetap menggunakan prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagai landasan implementasinya.
Dengan melihat keadaan tersebut yakni dua tujuan pembangunan global yang menggunakan prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagai landasan implementasinya, maka dapat dikatakan bahwa HAM menjadi sangat penting dan wajib diupayakan oleh pemerintah di setiap negara. Hak asasi manusia sendiri dapat dikatakan sebagai hak yang diberikan kepada individu untuk mendorong konsisi sosial dan ekonominya secara kondusif. Di Indonesia hak asasi manusia diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi “Semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan baik tidak ada kecualinya”. Dalam undang-undang tersebut maka ditegaskan bahwa seluruh warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum, prinsip ini dinamakan equality before the law, yakni norma yang melindungi hak asasi warga negara. Teori equality before the law menurut UUD 1945 dalam artikel Prof. Ramly adalah suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang harus berfungsi menurut kedudukannya masing-masing. Kesamaan di hadapan hukum berarti setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah, terikat secara konstitusional dengan nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam praktik.
Merujuk pada undang-undang tersebut dapat diketahui berarti setiap warganegara mendapatkan hak dan kewajiban yang sama tanpa terkecuali, termasuk masyarakat dengan keterbatasan/cacat fisik (penyandang disabilitas). Penyandang disabilitas di Indonesia sendiri dilihat kurang mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah, meskipun pada saat ini telah banyak terjadi perubahan yang lebih baik yang telah dilakukan oleh pemerintah namun dinilai belum mampu menghilangkan kesenjangan maupun diskriminasi yang di dapatkan oleh penyandang disabilitas. Dengan segala keterbatasan tubuhnya, penyandang disabilitas sering merasakan kesulitan untuk mengakses sarana dan prasarana yang dibangun oleh pemerintah. Melihat keadaan tersebut prinsip-prinsip hak asasi manusia dalam proses pembangunan dinilai belum mampu berjalan beriringan. Kembali lagi pada UUD 1945 pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa seluruh masyarakat berkedudukan sama di mata hukum yang meliputi hak dan kewajiban yang diterima oleh setiap individu. Maka pembangunan yang ada di Indonesia belum mampu melihat kebawah, yakni melihat keadaan masyarakat yang memiliki keterbatasan yang sebenarnya juga memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Selain UUD 1945 pasal 27 ayat (1) yang menyatakan seluruh masyarakat berkedudukan sama di mata hukum, adapun undang-undang yang juga menjelaskan mengenai penyandang disabilitas lebih spesifik. Meskipun lahirnya undang-undang tersebut dinyatakan terlambat namun dapat membuktikan bahwa Indonesia telah memberikan hak kepada penyandang disabilitas yang membutuhkan perhatian lebih. Penyandang Disabilitas diatur dalam UU No. 8 Tahun 2016. Lahirnya undang-undang tersebut berdasarkan Convention on the Rights of Person with Disabilities yang diselenggarakan PBB di Jenewa. Sebenarnya undang-undang tersebut merupakan hasil pergeseran paradigma yang sebelumya diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang dinilai telah menempatkan penyandang disabilitas sebagai objek dan bersifat belas kasihan. Dengan lahirnya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas maka kedudukan penyandang disabilitas sebagai subjek (diakui keberadaannya) yaitu manusia yang bermartabat yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya. Melalui undang-undang tersebut penyandang disabilitas mendapatkan haknya yang sama seperti masyarakat pada umumnya (tidak memiliki keterbatasan fisik), seperti segala bentuk kegiatan rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. Pandangan di dalam undang-undang Penyandang Cacat dianggap sudah tidak sesuai dengan upaya peningkatan harkat dan martabat penyandang disabilitas sebagai manusia seutuhnya.
Setelah 19 tahun berlakunya undang-undang Penyandang Cacat, undang-undang tersebut harus menyelaraskan dengan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang pengesahan Convention on the Rights of Person with Disabilities (Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas),sebagai bentuk penghormatan maka undang-undang penyandang Cacat harus diselaraskan karena pada hakekatnya penyandang disabilitas juga manusia yang juga harus mendapatkan haknya. Namun tampaknya hadirnya UU Nomor 8 tahun 2016 belum mampu menghilangkan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas sampai saat ini. Beberapa hal yang akan diulas melalui beberapa kasus berdasarkan berita serta pengalaman pribadi penulis akan menjelaskan poin penting diatas.

Pembahasan
Tampaknya sosialisasi mengenai UU Nomor 8 Tahun 2016 belum banyak diketahui masyarakat Indonesia. Hal terebut terlihat dari berita yang baru-baru ini terlihat begitu panas dan cukup menghebohkan media massa. Kasus bullying yang terjadi di kampus Universitas Gunadarma. Seorang mahasiswanya dilaporkan telah dibullying oleh teman sekelasnya. Pasalnya seorang mashasiswa yang dibullying merupakan mahasiswa berkebutuhan khusus atau disabilitas. Selama satu semester mahasiswa ini mendapatkan kekerasan dari teman-teman sekelasnya. Dan yang lebih menyedihkannya lagi, hal tersebut terjadi pada dunia pendidikan dengan tingkat paling tinggi, yakni tingkat universitas. Sungguh miris bangsa indonesia ini.
Selain itu seperti pada infrastruktur dan setiap pembangunan yang di dirikan oleh pemerintah belum mampu menyelaraskan keadaan penyandang disabilitas yang juga sebagai subjek di masyarakat. Salah satu contohnya yangvpaling mudah dilihat oleh kita semua ada jembatan penyebrangan. Jembatan penyebrangan yang dibuat dengan tangga dan berjarak jauh serta panjang sebenarnya sangat menyulitkan para penyandang disabilitas. Terutama untuk mengakses transjakarta yang seperti kita ketahui haltenya berada di tengah jalan raya sehingga perlu melalui jembatan penyebrangan, namun sulit untuk Penyandang disabilitas terutama bagi mereka tuna netra maupun pengguna kursi roda yang sangat sulit untuk menggunakan fasilutas publik yangs seharusnya dapat diakses oleh siapapun.
Melihat dari dua kasus tersebut kita dapat melihat bahwa pemerintah masih terlihat mendiskriminasi penyandang disabilitas. Pemerintah masih sulit untuk menyelaraskan keadaan yang sebenarnya tidak seluruh masyarakat mampu mengakses layanan publik yang ada.  Padahal jika menilik pada UUD Pasal 27 ayat (1) dimana dinyatakan bahwa semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Namun seperti yang kita lihat dari beberapa kasus yang di jabarkan hanya mewakili beberapa kasus yang sebenarnya banyak sekali terjadi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia, dalam pemerintahannya belum mampu menjalankan pembangunan dengan benar-benar menerapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Selain terlambatnya penyelarasan paradigma  dalam undang-undang Penyandang Cacat menjadi Penyandang Disabilitas yang dianggap terlalu terlambat. Seolah Penyandang Disabilitas dianggap sebagai sebuah objek pada tahun-tahun silam. Selain itu, keadaan mental masyarakat yang sering memandang bahwa penyandang disabilitas berbeda dari mereka, sehingga tak jarang menimbulkan cara pandang yang menyudutkan penyandang disabilitas. Pada akhirnya, yang terburuk dan sering terjadi adalah rendahnya kepercayaan diri mereka juga sulit untuk bersosialisasi dengan di dalam masyarakat. Stigma keterbatasan yang dimiliki penyandang disabilitas juga menjadikan mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan untuk menghidupi dirinya bahkan keluarganya. Mereka dianggap tidak mampu untuk mengerjakan pekerjaan, sehingga banyak dari mereka yang menganggur. Dalam permasalahan pekerjaan, pemerintah juga belum benar-benar memberikan hak kepada mereka seutuhnya. Dengan kesulitan yang dialami oleh penyandang disabilitas, seperti sulitnya mendapatkan pekerjaan, sulitnya mendapatkan pengakuan dari masyarakat akan eksistensi dirinya, serta akses kepada pelayanan publik telah mencontohkan bahwa implementasi HAM belum benar-benar diterapkan di Indonesia dalam pembangunannya, terkhusus penyandang disabilitas.

Penutup
Penghormatan hak-hak asasi manusia yang dilakukan oleh pemerintah sangatlah penting untuk diupayakan. Dengan berjalannya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) yang sedang dilaksanakan saat ini haruslah menerapkan prinsip-prinsip hak asasi manusia. hal terssebut dilakukan untuk mengurangi penampakan kesenjangan dan melaksanakan pembangunan dengan lebih manusiawi dan memperhatikan keadaan yang terjadi di masyarakatnya. Seperti yang tertulis pada UUD 1945 pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa seluruh warga negara berkedudukan sama di mata hukum yang meliputi hak dan kewajiban yang diterima oleh setiap individu. Maka hukum yaang ada akan tetap sama meskipun ia adalah presiden ataupun seorang penyandang disabilitas. Pembangunan saat ini sepertinya belum mampu berjalan beriringan dengan HAM yang diterapkan dalam kebijakan-kebijakannya. Dalam kasusnya yakni penyandang disabilitas yang belum benar-benar mendapatkan haknya di dalam masyarakat, meskipun telah dibuat UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang disabilitas maka kedudukan penyandang disabilitas sebagai subjek (diakui keberadaannya) yaitu manusia yang bermartabat yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya. Sehingga seharusnya tidak ada perbedaan atau diskriminasi yang didapatkan oleh penyandang disabilitas.
Dalam kasus yang paling sering dijumpai adalah pengakuan masyarakat akan eksistensi dirinya, dengan keterbatasannya mereka sering tidak diakui bahkan dikasihani, yang sesungguhnya hal tersebut sangat menyakiti mereka dan membuat mereka semakin tidak percaya diri. Dalam kasus ini, peran pemerintah sangat penting. Dengan memberikan mereka rehabilitasi sosial, memberikan mereka skill atau sekolah khusus serta jaminan sosial, pastinya sangat membantu kehidupan mereka di dalam masyarakat. Solusi tersebut sekaligus mengurangi angka pengangguran akibat keterbatasan yang mereka miliki. Sedangkan untuk akses pelayanan publik ada baiknya pemerintah merencanakan pembangunan lebih matang dan tetap memperhatikan kaum minoritas seperti penyandang disabilitas. Bagaimanapun keterbatasan yang mereka miliki, mereka tetaplah seorang manusia, seorang warga negara yang sama kedudukannya di mata hukum. Akses pelayanan publik sangatlah penting bagi mereka, sehingga mereka dapat menjalankan kehidupannya tanpa merasa terdiskriminasi.

Referensi



Tidak ada komentar: